menu bar

Sabtu, 10 November 2012

Penggunaan Bahasa Indonesia Secara Baik Dan Benar


Kita sering mendengar dan membaca semboyan “Pergunakanlah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar”. Makna semboyan itu sering pula diartikan bahwa kita harus berbahasa baku atau kita harus menghindarkan pemakaian bahasa non baku. Bahasa baku sama maknanya dengan bahasa yang baik dan benar. Hal ini terjadi karena konsep di dalam semboyan iitu sangat kabur. Konsep yang benar atau semboyan yang benar adalah “Pergunakanlah Bahasa Indonesia Baku dan Nonbaku dengan Baik dan Benar”.

Harimurti Kridalaksana memperjelas bahwa adanya bahasa baku atau bahasa standar dan bahasa nonbaku atau bahasa nonstandar bukan berarti bahwa bahasa baku atau bahasa standar lebih baik, lebih benar atau lebih betul daripada bahasa non baku atau bahasa nonstandar. Bukan disitu permasalahannya. Kita memakai bahasa secara betul atau baik bila kita menggunakan bahasa baku sesuai dengan fungsinya. Demikian juga, kita mempergunakan bahasa secara betul atau baik bila kita mempergunakan bahasa nonbaku atau bahasa nonstandar sesuai dengan fungsinya. Kita menggunakan bahasa secara salah atau tidak benar bila kita menggunakan bahasa standar untuk fungsi bahasa nonstandar. Oleh karena itu, memakai bahasa baku tidak dengan sendirinya berarti memakai bahasa yang baik dan benar. Bahasa baku tidak sama dengan bahasa yang baik dan benar (1981 : 19).

Berikut contoh Penggunaan Bahasa Indonesia Secara Baik Dan Benar:

1.   Mata uang, lambang satuan ukuran, takaran, dan timbangan:
Kita sering terjebak dengan dugaan bahwa setiap singkatan itu di belakangnya diletakkan tanda baca titik. Dugaan itu tidaklah selalu benar, karena tidak semua singkatan ditempatkan titik pada akhirnya.  Singkatan -singkatan   yang menunjukkan  lambang kimia, satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang   tidak perlu diberi tanda titik .  Untuk lebih jelas, perhatikan singkatan-singkatan di bawah ini.

  • Rp (tanpa titik di belakang huruf “p”),  bukan Rp. ; 
  • US$ 30.50 (tanpa titik di belakang huruf “$”),  bukan US$.  30.50 ; 
  • Y 100 (tanpa titik di belakang huruf “Y”), bukan Y.  100 ; 
  • cm (tanpa titik di belakang huruf  “m” ), bukan cm.   ;  
  • km (tanpa titik di belakang huruf “m”), bukan km.   ; 
  • kg (tanpa titik di belakang huruf “g”), bukan kg.  ; 
  • l (leter,  tanpa titik di belakang huruf “l”),bukan l
Dalam putusan pengadilan, penulisan nilai uang berupa singkatan rupiah (Rp) seringkali ditulis menyimpang dari pedoman umum bahasa Indonesia. Kebanyakan Panitera Pengganti menulis nya  dengan    “  Rp.”, menggunakan titik  dibelakang  huruf “p”. Misalnya, “Menghukum  Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar  Rp. 149.500,-  (seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah)”. Seharusnya,   ditulis,  “Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar  Rp 149.500,00  atau Rp 149.500  (seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah)”,   tanpa menempatkan titik dibelakang huruf “p”. 

Kekeliruan selanjutnya, Panitera Pengganti sering pula  menulis keliru ketika melambangkan bilangan dengan angka dan huruf, “….. Rp 149.500 (Seratus  empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah rupiah)”  dengan cara menulis huruf  “S” dalam bentuk huruf kapital, padahal  seharusnya “(seratus empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) , huruf  ”s” ditulis dengan huruf kecil

2.   Penulisan angka dalam kalimat:
Penulisan angka dalam kalimat ada yang dipisah dengan titik dan ada yang tidak dipisah dengan titik. Di bawah ini ada empat macam contoh cara penulisan angka tersebut.

1.  Angka yang menunjukkan suatu jumlah.
Contoh :
“Bahwa berdasarkan keterangan saksi  Tergugat tersebut, luas obyek sengketa  yang termasuk  lahan  perumahan adalah 100.234 m, bukan 153. 05 m sebagaimana yang disebutkan Penggugat  ”.

Pada contoh di atas bilangan ribuan, jutaan, dan seterusnya dipisah dengan tanda baca  “titik”. Penulisan tanda baca  “titik”  itu menunjukkan bahwa angka-angka itu bermakna bilangan  dalam jumlah tertentu. Selain itu,  pada  contoh di atas,  ada pula lambang huruf “m” tanpa titik setelah angka. Lambang tersebut dijabarkan dengan lafal  “meter”  ketika membacanya. Tidak dibenarkan dalam pengucapannya dibaca 100.234  em, tetapi harus dibaca 100.234 meter. Hal serupa, misalnya, dalam penulisan “cos”, yang harus dibaca  “kosinus”, “sin” yang di baca “sinus”, “km”,  harus  dibaca kilometer, dll.

2.  Angka yang menunjukkan waktu.  
Contoh  :  
“Peristiwa  penganiayaan  itu dilakukan tergugat sejak hari Kamis, tanggal 10 Januari 2007,    pukul 12.35.10  wita hingga pukul 13.00 wita secara terus menerus .  ( harus dibaca : pukul 12 lewat 35 menit dan 10 detik  hingga pukul 13 wita ).

3.  Angka yang menunjukkan jangka waktu .
Contoh :
“Berdasarkan keterangan saksi Penggugat, peristiwa penganiayaan Tergugat  terhadap Penggugat  berlangsung  terus menerus  selama 2.30.20 jam”. ( harus dibaca : 2 jam, 30 menit,  dan 20 detik);

4.  Angka yang tidak menunjukkan suatu jumlah.
Contoh  :
“Bahwa, benar Pemohon dan Termohon melangsungkan pernikahan mereka pada tahun  1955  di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan  Agama  Kecamatan Banjarmasin Utara,”  kata saksi.

“Bahwa, HP  yang digunakan   Tergugat  ketika berkomunikasi dengan saya, Penggugat,   pada tanggal 4 Januari 2007 itu bernomor 085212267215,” jelas Penggugat . 

Angka  1955  dan  085212267215, tidak  perlu  ditulis dengan menggunakan tanda baca “titik” di belakang ribuan, jutaan, dst., karena angka-angka tersebut tidak menunjukkan suatu jumlah tertentu.

Pada kalimat tersebut di atas, kata “HP” ditulis tidak menggunakan “titik” di belakang huruf “P”,  karena “HP” merupakan singkatan dua kata yang masing -masing diambil huruf awalnya dan bukan pula singkatan gelar akademik, jabatan, pangkat, dan sapaan.

Untuk memperjelas  penulisan  titik pada angka, bedakan antara kalimat, “Percekcokan itu terjadi sejak  tahun   2007  ” dengan  kalimat “Sudah  2.007  tahun yang lalu nama besarnya telah tercatat dalam sejarah  peradaban manusia”.

3.   Singkatan gelar akademik:
1.  Singkatan gelar akademik yang terdiri dari dua  atau lebih  huruf kapital, masing-masing huruf sebagai singkatan awal kata, maka untuk menulis gelar-gelar akademik ini, di   belakang setiap huruf kapital  diletakkan tanda baca “titik”.  Misalnya, S.H. (bukan SH.);  M.A. (bukan MA.),    S.E. (bukan SE.);M.B.A. (bukan MBA);  M.H. (bukan MH),  M.H.I. (bukan MHI), S.Pd.I (Sarjana Pendidikan  Islam, bukan S.Pdi.),  dll.  Bedakan dengan gelar DR., sekalipun terdiri  dari dua huruf kapital, namun DR. hanya singkatan dari satu kata, yaitu Doktor.

Contoh :
Demikianlah   diputuskan dalam sidang permusyawaratan majelis pada hari Kamis, tanggal 17 Janua ri 2008 oleh  Ahmad,S.H., M.H., Ketua Majelis…….   

Di antara dua gelar S.H. dan M.H. harus dipisah dengan tanda baca “koma” .

2. Singkatan gelar akademik yang terdiri dari huruf  kapital yang bersambung dengan  huruf kecil, tanda baca “titik” ditempatkan di belakang huruf kecil. Misalnya,  Drs.,  Ir.,  Dr.,    Prof.  Keempat contoh  gelar tersebut  di atas  merupakan singkatan  dari satu kata. Contoh lain, M.Sc. dan  S.Ag.  Gelar-gelar akademik tersebut  adalah singkatan dari dua  kata, master dan science serta singkatan  dari sarjana dan agama.

4.   Akronim yang sudah diterima masyarakat sebagai kata wajar:
Akronim atau kependekan yang terdiri dari gabungan beberapa huruf atau kata. Apabila  kependekan itu  telah diterima masyarakat  sebagai kata wajar, tidak diperlukan penggunaan  tanda baca “titik”  di antara singkatan huruf atau kata aslinya. Misalnya,  MARI,  ABRI, MPR, DPR, PN, PA, PT, PTA,  BAP,  SD, SMA, UUD, UU, Depag, ormas, radar (radio detecting and ranging), tilang (bukti pelanggaran), Mayjen, dll.

Contoh :
Pengadilan Agama Kelas I A Banjarmasin,  yang  memeriksa dan mengadili  pada tingkat pertama, dalam persidangan majelis telah menjatuhkan putusan sebagai berikut  dalam perkara  perdata harta bersama antara :

AGUS HARIYADI bin WAKIDI, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan  Pegawai Negeri Sipil (PNS)  pada Kantor …, bertempat tinggal di  Jalan  Sultan Adam  82,  RT  06,  RW  02, Kelurahan Sambutan Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin,  Provinsi  Kalimantan Selatan, selanjutnya disebut Pemohon  Konvensi/ Tergugat Rekonvensi; 

Pada kalimat di atas dalam penulisan “agama Islam”, keliru apabila ditulis “Agama Islam”. Bedakan antara kalimat “Ia memeluk Agama  Islam” dengan kalimat “Islam adalah  agama  yang dipeluknya”. Jalan ditulis dengan huruf kapital pada awal kata, apabila disambung dengan nama jalan tersebut. Bedakan antara kalimat “Ia tinggal di Jalan  Sultan Adam” dengan kalimat “Sultan Adam ialah nama  jalan  di Kota Banjarmasin”.  Antara kata  Jalan Sultan Adam   dengan nomor rumah  seharusnya  tidak dipisah dengan tanda baca “koma”.Penulisan “RT”   dan “RW”  tidak diberi tanda baca titik .   Akan tetapi, tanda baca  koma dipakai  di  antara nama  dengan  alamat dan bagian-bagian alamat.

Pada kalimat di atas ada kata  provinsi, penulisannya sama dengan penulisan kata  konvensi, dan  rekonvensi   dengan menggunakan  huruf “v”, bukan “p”. Dalam ketentuan bahasa Indonesia, unsur serapan diucapkan dan ditulis sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, namun ejaan bahasa asing hanya diubah seperlunya, sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan  bentuk aslinya.  Dalam hal penulisan huruf “v” pada bahasa asing tetap dituis dengan huruf “v” dalam bahasa Indonesia.

Contoh, vitamin (asalnya vitamin), televisi (asalnya television), kavaleri (asalnya cavalry), provensi (asalnya proventie), konvensi (asalnya conventie), rekonvensi (asalnya reconventie ), konviksi (asalnya convictie  (pembuktian yang menyakinkan), provisionel (asalnya provisionele), verstek (asalnya verstek), verzet (asalnya verzet), dll.

5.   Nama hari, bulan, tahun, dan wilayah pemerintahan:
Mungkin karena tidak pernah disadari atau terpengaruh dengan bermacam-ragam penyebutan nama hari dan nama bulan masehi serta nama bulan hijriah yang tertera pada kalender  yang sangat akrab di sekitar kita, kita menjadi bingung, mana yang benar dan tepat untuk dikuti.

Demikian pula penulisan nama wilayah pemerintahan pada tingkat provinsi.Ada yang menulis “propinsi” dan ada pula yang menulis “provinsi”. Berikut di bawah ini nama-nama hari, bulan, dan wilayah pemerintahan yang sering ditulis keliru.

1.    Senin (bukan Isnain);
2.    Rabu (bukan Rebo atau Rebu);
3.    Kamis (bukan Kemis);
4.    Jumat (bukan Jum’at)
5.    Februari (bukan Pebruari),
6.    November (bukan Nopember),
7.    Muharam (bukan Muharram),
8.    Safar (bukan Shafar); 
9.    Rabiulawal (bukan Rabi’ul Awwal  /  Rabi’ul Ula);
10. Rabiulakhir (bukan Rabi’ul Akhir  /  Rabu’ul  Tsani);
11. Jumadilawal (bukan Jumadil Awwal  /  Jamadil Awwal);
12. Jumadilakhir (bukan Jumadil Akhir  /   Jamadil Akhir )
13. Syakban (bukan Sya’ban);
14. Ramadan (bukan Ramadhan);
15. Syawal (bukan Syawwal);
16. Zulkaidah (bukan Dzul Qa’dah  /Dzul Qaedah);
17. Zulhijah (bukan Dzul Hijjah);
18. Masehi (bukan Masihi);
19. Hijriah (bukan Hijriyyah)
20. Provinsi (bukan propinsi) .

Fungsi Bahasa Sebagai Alat Komunikasi


Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi atau bahasa komunikatif mempunyai makna bahasanya sangat mudah dipahami (dimengerti) sehingga pesan yang disampaikannya dapat diterima dengan baik. (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Kalimat yang baik dan komunikatif harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.    Tidak menyimpang dari kaidah bahasa
2.    Logis atau dapat diterima nalar
3.    Jelas dan dapat menyampaikan maksud atau pesan dengan tepat

Berikut contoh fungsi bahasa sebagai alat komunikasi:

1.   DIJUAL TANPA PERANTARA
Pemilik sebuah rumah di Utan Kayu, Jakarta memasang pengumuman ini. Dalam kaidah EYD, penggunaan kata “di” yang dipisah berfungsi sebagai preposisi (kata depan) yang menerangkan [biasa] tempat atau waktu; “di tengah hari”, “di Jakarta”, “di rumah”.

Penggunaan kata “di” banyak ‘dikacaukan’ karena mereka menganggap fungsinya sama saja. Pada kasus ini, “Di Jual” seharusnya ditulis bersambung, “dijual”, karena maksudnya sebagai prefiks/awalan pasif demi menerangkan bahwa “rumah tersebut dijual”.

Bisa dibayangkan kalau ada benar-benar tempat bernama “Jual”, lalu Anda menyangka “rumah orang ini di Jual.” “Oh, kami tahu sekarang rumahnya di mana.”

2.  Hadirilah! Salat Iduladha 1433H
Kekonsistenan dibutuhkan dalam berbahasa. Pengumuman ini tidak mencerminkan konsistensi tersebut. Hal yang sering terjadi saat Anda menulis kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Mau pakai bahasa Indonesia atau Arab?

“Sholat Iedul Adha” tidak tepat untuk digunakan di ragam formal Bahasa Indonesia. Kata “sholat” seharusnya ditulis “salat”, sementara “Iedul Adha” memiliki bentuk formal Bahasa Indonesia, “Iduladha”; bahkan KBBI menggabungkan kedua kata tersebut. Begitu pun kata “khotib” yang di bahasa Indonesia menjadi “khatib” dan “Jum’at” yang seharusnya “Jumat”.

Sudah beres? Belum. “Musholla” seharusnya jadi “Musala”.



Kerangka Karangan



 Agar karangan kita dapat terorganisasikan dengan baik, kita perlu menyusun kerangka (outline) atau garis-garis besarnya. Suaru kerangka karangan merupakan sebuah rancangan atau rencana kerja yang mengarahkan penulis agar dapat menyusun gagasan-gagasan secara teratur dan logis. Penyusunan kerangka karangan sangat dianjurkan agar penulis terhindarkan dari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.

Kegunaan kerangka karangan bagi seorang penulis, antara lain, adalah:

1. Membantu penulis menyusun karangan secara teratur sehingga tidak membahas satu gagasan sampai dua kali atau bahkan lebih.
2. Mencegah penulis keluar dari ruang-lingkup topik yang telah dirumuskan.
3. Memperlihatkan bagian-bagian pokok suatu karangan serta memberi kemungkinan bagi perluasan bagian-bagian tersebut.
4. Memperlihatkan kepada penulis bahan-bahan atau materi apa yang diperlukan dalam pembahasan yang akan ditulisnya nanti.

Menyusun kerangka karangan berarti memecahkan topik ke dalam beberapa subtopik dan mungkin selanjutnya ke dalam sub-subtopik. Satu hal yang perlu diingat adalah penyusunan kerangka karangan hendaknya didasarkan atas keteraturan atau pola tertentu. Pada dasarnya pola kerangka karangan dapat dibedakan menjadi pola setara, bertingkat, atau kombinasi setara dan bertingkat.

Pola Setara, contoh:

Topik : FUNGSI-FUNGSI BUSANA

I. Fungsi proteksi
II. Fungsi kesopanan
III. Fungsi erotik
IV. …

Pola Bertingkat, contoh:

Topik: FUNGSI BUSANA SEBAGAI PELINDUNG TUBUH

I. Fungsi-fungsi busana
II. Asumsi dasar fungsionalisme
III. Fungsi proteksi busana
iV. ….

Berikut ini adalah satu contoh kerangka karangan yang lengkap. Coba perhatikan polanya yang merupakan kombinasi setara dan bertingkat.

Topik: EROTIKA BUSANA

I . Pembuka: mengapa manusia mengenakan busana?

II. Fungsi busana I
( 1 ). Asumsi: Fungsionalisme
( 2 ). Fungsi proteksi
( 3 ). Kritik atas fungsi proteksi

III. Fungsi busana II
( 1 ). Asumsi: mitos penciptaan manusia
( 2 ). Fungsi kesopanan (modesty)
( 3 ). Kritik atas fungsi kesopanan

IV. Fungsi busana III
( 1 ). Asumsi: eksibisionisme perempuan
( 2 ). Fungsi erotik
( 3 ). Kritik atas fungsi erotik

V. Penutup: ambivalensi busana di antara kesopanan dan erotika

Apabila setiap subtopik dan sub-subtopik di atas dikembangkan masing-masing ke dalam satu paragraf, maka kita akan mendapatkan minimal 11 paragraf untuk karangan tersebut. Apabila satu paragraf rata-rata terdiri dari 70-100 kata, maka karangan tersebut akan mencapai panjang sekitar 770-1100 kata. Bukankah ini sudah memadai bagi sebuah esai atau artikel pendek di surat kabar?